Kicauan burung memenuhi telinga Lina, dan tanpa Lina
sadari seberkas cahaya menembus kaca kamar yang membuat mata semakin sulit
untuk dibuka. Suara yang tak asing pun memecahkan rasa kantuk Lina, siapa lagi
kalau bukan “ibu”.
“Lina, bangun! Sudah siang, Nak!” seru ibu.
Lina tersentak. Dia sadar. Dia melupakan sesuatu.
“Astaghfirullohal‘adzim. Aku belum salat Subuh.
Kenapa ibu tidak membangunkan Lina?” tanya Lina sedih. Dia merasa bersalah
karena kelalaiannya itu. Dia takut Allah marah padanya.
“Ibu sudah bangunkan kamu, tapi kamu tidak
bangun-bangun. Maafkan ibu, Nak.” jawab ibu tampak menyesal.
Lina termasuk gadis remaja yang senang mengikuti kajian-kajian. Apalagi kajian yang
membahas tentang masalah wanita, dia akan mendengarkan dengan seksama. Sampai
suatu hari ada sesuatu yang terjadi.
Suatu hari Lina pulang sore, ternyata dia mengikuti
kajian di sekolah bersama guru agama dan temam-temannya. Pada waktu itu tema
kajian yang ia dengarkan tentang pentingnya menjaga aurat, terutama dengan
jilbab. Dia sadar, selama ini dia belum mengerti arti pentingnya sebuah jilbab.
Lina memang baru kelas 7 (1 SMP), tapi dia aktif mengikuti organisasi. Sampai
rumah Lina menceritakan kajian yang ia dengarkan kepada ibunya, tetapi ibunya
hanya diam. Beliau sadar, selama ini keluarga besarnya belum ada yang
mengenakan jilbab. Mereka mengenakan jilbab hanya pada waktu tertentu. Setelah
itu, suara Lina mengejutkan ibunya. Lina memutuskan untuk mengenakan jilbab.
“Bu, kata Bu Yuni, kita sebagai umat Islam yang baik
harus mematuhi kaidah Islam yang baik, salah satunya mengenakan jilbab. Jilbab
tidak hanya berfungsi untuk menutupi aurat, tetapi juga dapat menjaga kesehatan
tubuh. Misalnya, jika kita tidak memakai jilbab, debu dengan mudahnya menempel
pada tubuh kita. Aku ingin memakai jilbab.” cerita Lina.
Saat itu, ibu terdiam dan hanya tersenyum, Lina
semakin bingung kenapa jawaban ibu seperti itu. Dengan jawaban ibu seperti itu,
Lina merasa ragu. Dia berpikir sejenak dan kini ia tahu keputusan yang sudah
semestinya ia ambil. Akhirnya, Lina yakin untuk mengenakan jilbab.
Keesokan harinya, Lina menyakinkan diri lagi untuk
memakai jibab ke sekolah. Lina mempersiapkan kerudung yang akan digunakan. Lina
berpikir memakai jilbab itu gampang, tapi ternyata tidak semudah membalikkan
telapak tangan.
“Aaaargh! Ini susah sekali jilbabnya. Kenapa tidak
jadi-jadi. Tanganku sudah pegal, kenapa tidak semudah yang aku bayangkan? Ya
Allah, berilah aku kemudahan memakai jilbab.” Eluh Lina
Tanpa Lina sadari, suara mengeluhnya sampai terdengar
oleh ibunya yang sedang berada di ruang makan.
“Lina, apa yang terjadi denganmu Nak?” Tanya ibu
Lina.
“Ini, Bu.” Eluh Lina sambil memegang kerudung yang
dipakainya.
“Susah memakainya, ini juga tidak bisa dibentuk.”
Eluh Lina meneruskan kata-katanya sambil berteriak karena ibunya berada di
ruang makan.
Ibunya Lina pun beranjak dari ruang makan menuju
kamar Lina.
“Nak, memakai kerudung itu tak semudah yang kamu
pikir. Seseorang yang pertama kali memakai kerudung akan merasakan kesulitan
serta harus siap mental. Maka dari itu, kamu harus memikirkan ini dengan
matang-matang dan dengan niat yang tulus.
Di sekolahnya, semua teman-temannya heran dan
terbelalak melihat penampilan baru Lina.
“Lina!!!” sapa Sinta kaget.
“Kenapa Sin, aku lucu ya?” Tanya Lina masih malu
dengan penampilan barunya.
“Ya ampun, Lin. Kamu cantik. Aku suka penampilan
kamu sekarang.” Jawab Sinta yang menyukai jilbab. Sinta sudah memakai jilbab
sejak SD. Wajar saja, dia dari SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) jadi harus
memakai jilbab.
“Makasih ya, Sin. Tapi aku masih kurang nyaman, dan
terkadang gerah.” Kata LIna
“Awalnya memang seperti itu, Lin. Dulu aku juga
seperti itu, tetapi kalau sudah terbiasa juga akan merasa nyaman. Jika kita
benar-benar niat memakai jilbab, kamu akan merasa dekat dengan Allah. Kamu juga
akan merasa tentram dengan adanya jilbab ditubuhmu. Yakinkan hatimu ya, Lin.”
Pesan Sinta kepada Lina supaya Lina semakin mengerti pentingnya sebuah jilbab.
“Memang, Sin. Aku sedikit tidak yakin dengan
keputusanku. Setiap hari, setelah sholat, aku selalu berdo’a kepada Allah. Aku
pun bertanya, apakah keputusanku untuk memakai jilbab ini dapat menjadikan aku
lebih baik dan menjadikanku seorang muslimah yang berbakti kepada perintah
Allah ataupun perintah orang tuaku.” Jawab Lina yang masih ragu-ragu dengan
keptusannya itu.
“Sudah, yakinkan hatimu saja. Kamu pasti bisa.
Semangat Lina!” Kata Sinta yang terus meyakinkan keputusan Lina.
“Aku akan meyakinkan hatiku, Sin.
Aku pasti bisa. Bantu aku ya, Sin, supaya aku tetap berjalan lurus, yaitu di
jalan Allah.” Lina memohon bantuan kepada Sinta.
……..….
Sinta merupakan anak yang selalu memberi semangat
kepada Lina. Di samping itu, Sinta seorang muslimah yang berhati mula. Sinta
besahabat dengan Lina sejak mereka SD (Sekolah Dasar), rumah mereka juga satu
kompleks, hanya saja cara hidup mereka yang berbeda. Keluarga Sinta sangat
mematuhi perintah agama Islam. Dulu, sebelum Lina bertemu dengan Sinta, Lina
seorang yang sombong dan angkuh. Dia tidak pernah menyapa orang-orang di
sekitar kompleksnya yang tidak lain adalah tetangganya. Lina memang warga baru
di kompleks tersebut. Sinta yang selalu sabar .menghadapi orang seperti Lina
pun mulai mendekati Lina. Awalnya Lina seakan tidak suka kepada Sinta karena
penampilan Sinta yang tidak sebagus Lina. Keluarga Sinta termasuk keluarga yang
tidak mampu. Dengan semangat Sinta selalu mengajak Lina pulang bersama
menggunakan sepeda mininya yang dibelikan kedua orang tuanya tiga tahun lalu.
Dengan usahanya itu, Sinta berhasil mendapatkan
teman baru, yaitu Lina. Sinta sangat senang, begitu juga Lina. Setiap hari
minggu, Sinta selalu mengajak Lina ke kajian-kajian yang berisi tentang
ajaran-ajaran Islam yang belum diketahui oleh Lina. Pertama mengikuti kajian,
Lina merasa bosan dan ingin segera pulang, tetapi Sinta selalu meyakinkan bahwa
dengan mengikuti kajian, manfaat yang didapat oleh orang yang benar-benar
mendengarkan dengan niat ikhlas sangat berguna. Karena Sinta diajak pulang
tidak mau, akhirnya Lina pulang sendiri. Ketika pulang, dia tidak hafal jalan
pulang. Untungnya, Sinta tahu jika Lina orang baru. Sinta mengikuti Lina dari
belakang. Setelah itu, Sinta mendekati Lina yang sedang kebingungan. Lina marah
kepada Sinta dan tidak mau ditolong oleh Sinta. Dengan kerendahan hati, Sinta
meminta maaf kepada Lina.
Sejak kejadian itu, Sinta merasa bersalah. Setiap
Sinta bertemu Lina, dia selalu meminta maaf kepada Lina. Tetapi Lina tidak
pernah mau memaafkan Sinta. Sinta selalu berdo’a kepada Allah agar Lina dapat
memaafkannya. Sampai akhirnya, karena Lina merasa tidak memiliki teman selain
Sinta, akhirnya Lina memaafkan Sinta.
Kemudian mereka bersahabat. Mereka berjanji satu
sama lain tidak akan saling menyakiti. Sejak saat itu, Lina selalu diberi
nasihat oleh orang tua Sinta.
Pada sore hari saat Bulan Ramadhan, Lina pergi ke
rumah Sinta. Di sana, Lina bertemu dengan Ibu Sinta. Ibu Sinta terkejut melihat
Lina yang sudah remaja dan diwajibkan mengenakan jilbab, belum juga mengenakan
jilbab. Ibu Sinta lalu bertanya kepada Lina mengapa dia belum mengenakan
jilbab. Tetapi dia hanya tersenyum karena malu.
Kini Lina sudah
mengenakan jilbab sehari-hari. Jika pergi dia mengenakan jilbab, sekolah
mengenakan jilbab, di rumah pun ia tetap mengenakan jilbab. Ibu pun heran
mengapa Lina berubah drastis sejak tiga bulan lalu sejak Lina bersahabat dengan
Sinta. Lina juga selalu memohon kepada ibunya agar ibunya mengenakan jilbab
seperti dirinya. Setiap hari Lina selalu memohon kepada ibunya.
“Ibu, kenapa ibu belum
mengenakan jilbab? Lina ingin ibu mengenakan jilbab seperti Lina. Fungsi jilbab
tidak hanya menutupi aurat, Bu, tetapi juga menjaga kesehatan tubuh kita,” ajak
Lina.
Ibu hanya duduk terdiam
sampai Lina pergi meninggalkannya.
……..….
Cahaya matahari
menembus kaca jendela kamar Lina. Silaunya hampir-hampir menyayat pandangan
membuat Lina bergegas bangun.
“Astaghfirullohal‘adzim.
Jam berapa ini? Kenapa ibu tidak membangunkanku?” gerutu Lina setelah ia
menyadari saat itu pukul 09.00.
Lina bergegas turun
dari tempat tidurnya lalu mencari handuk untuk segera mandi.
“Sial, kemana
handukku,” lina menggerutu lagi.
Lina pun keluar kamar
untuk mencari handuknya. Dilihatnya ruang tamu yang kosong. Ibunya tak ada.
Handuknya apa lagi. Ia lalu berjalan menuju halaman belakang dan ditemukan juga
handuknya tersampir di jemuran. Setelah Lina mengambil handuknya,
“Brukk,”
Lina menabrak seseorang
di depannya. Di telitinya orang itu dari ujung kaki sampai ubun-ubunnya.
“Ini kan hari Minggu
Lina? Kenapa terburu-buru?”
Lina terkejut dengan
apa yang ada di hadapannya saat itu.
“Subhanallah,,, Ibu!”
Lina terkagum dengan penampilan ibunya pagi itu.
Gamis merah dengan
hiasan bunga di bawahnya dikenakan ibunya. Jilbab merah hati dengan
lipatan-lipatan di leher bagian kanan menambah anggun senyum manis ibuku.
“Ibu,,, cantik,,,”
“kau ini, sejak kapan
ibu tak cantik Lina?”
Pagi itu adalah pagi
yang indah, lebuh indah dari bunga-bunga musim semi yang menggegerkan langkah
anak-anak kecil. Lebih indah pula meski musim semi di warnai kembang api malam
harinya. Lebih indah dari apa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar