Kamis, 02 Agustus 2012

Berawal dari Keyakinan



Berawal dari Keyakinan

Kicauan burung memenuhi telinga Lina, dan tanpa Lina sadari seberkas cahaya menembus kaca kamar yang membuat mata semakin sulit untuk dibuka. Suara yang tak asing pun memecahkan rasa kantuk Lina, siapa lagi kalau bukan “ibu”.
“Lina, bangun! Sudah siang, Nak!” seru ibu.
Lina tersentak. Dia sadar. Dia melupakan sesuatu.
“Astaghfirullohal‘adzim. Aku belum salat Subuh. Kenapa ibu tidak membangunkan Lina?” tanya Lina sedih. Dia merasa bersalah karena kelalaiannya itu. Dia takut Allah marah padanya.
“Ibu sudah bangunkan kamu, tapi kamu tidak bangun-bangun. Maafkan ibu, Nak.” jawab ibu tampak menyesal.
Lina termasuk gadis remaja yang senang mengikuti kajian-kajian. Apalagi kajian yang membahas tentang masalah wanita, dia akan mendengarkan dengan seksama. Sampai suatu hari ada sesuatu yang terjadi.
Suatu hari Lina pulang sore, ternyata dia mengikuti kajian di sekolah bersama guru agama dan temam-temannya. Pada waktu itu tema kajian yang ia dengarkan tentang pentingnya menjaga aurat, terutama dengan jilbab. Dia sadar, selama ini dia belum mengerti arti pentingnya sebuah jilbab. Lina memang baru kelas 7 (1 SMP), tapi dia aktif mengikuti organisasi. Sampai rumah Lina menceritakan kajian yang ia dengarkan kepada ibunya, tetapi ibunya hanya diam. Beliau sadar, selama ini keluarga besarnya belum ada yang mengenakan jilbab. Mereka mengenakan jilbab hanya pada waktu tertentu. Setelah itu, suara Lina mengejutkan ibunya. Lina memutuskan untuk mengenakan jilbab.
“Bu, kata Bu Yuni, kita sebagai umat Islam yang baik harus mematuhi kaidah Islam yang baik, salah satunya mengenakan jilbab. Jilbab tidak hanya berfungsi untuk menutupi aurat, tetapi juga dapat menjaga kesehatan tubuh. Misalnya, jika kita tidak memakai jilbab, debu dengan mudahnya menempel pada tubuh kita. Aku ingin memakai jilbab.” cerita Lina.
Saat itu, ibu terdiam dan hanya tersenyum, Lina semakin bingung kenapa jawaban ibu seperti itu. Dengan jawaban ibu seperti itu, Lina merasa ragu. Dia berpikir sejenak dan kini ia tahu keputusan yang sudah semestinya ia ambil. Akhirnya, Lina yakin untuk mengenakan jilbab.
Keesokan harinya, Lina menyakinkan diri lagi untuk memakai jibab ke sekolah. Lina mempersiapkan kerudung yang akan digunakan. Lina berpikir memakai jilbab itu gampang, tapi ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Aaaargh! Ini susah sekali jilbabnya. Kenapa tidak jadi-jadi. Tanganku sudah pegal, kenapa tidak semudah yang aku bayangkan? Ya Allah, berilah aku kemudahan memakai jilbab.” Eluh Lina
Tanpa Lina sadari, suara mengeluhnya sampai terdengar oleh ibunya yang sedang berada di ruang makan.
“Lina, apa yang terjadi denganmu Nak?” Tanya ibu Lina.
“Ini, Bu.” Eluh Lina sambil memegang kerudung yang dipakainya.
“Susah memakainya, ini juga tidak bisa dibentuk.” Eluh Lina meneruskan kata-katanya sambil berteriak karena ibunya berada di ruang makan.
Ibunya Lina pun beranjak dari ruang makan menuju kamar Lina.
“Nak, memakai kerudung itu tak semudah yang kamu pikir. Seseorang yang pertama kali memakai kerudung akan merasakan kesulitan serta harus siap mental. Maka dari itu, kamu harus memikirkan ini dengan matang-matang dan dengan niat yang tulus.
Di sekolahnya, semua teman-temannya heran dan terbelalak melihat penampilan baru Lina.
“Lina!!!” sapa Sinta kaget.
“Kenapa Sin, aku lucu ya?” Tanya Lina masih malu dengan penampilan barunya.
“Ya ampun, Lin. Kamu cantik. Aku suka penampilan kamu sekarang.” Jawab Sinta yang menyukai jilbab. Sinta sudah memakai jilbab sejak SD. Wajar saja, dia dari SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) jadi harus memakai jilbab.
“Makasih ya, Sin. Tapi aku masih kurang nyaman, dan terkadang gerah.” Kata LIna
“Awalnya memang seperti itu, Lin. Dulu aku juga seperti itu, tetapi kalau sudah terbiasa juga akan merasa nyaman. Jika kita benar-benar niat memakai jilbab, kamu akan merasa dekat dengan Allah. Kamu juga akan merasa tentram dengan adanya jilbab ditubuhmu. Yakinkan hatimu ya, Lin.” Pesan Sinta kepada Lina supaya Lina semakin mengerti pentingnya sebuah jilbab.
“Memang, Sin. Aku sedikit tidak yakin dengan keputusanku. Setiap hari, setelah sholat, aku selalu berdo’a kepada Allah. Aku pun bertanya, apakah keputusanku untuk memakai jilbab ini dapat menjadikan aku lebih baik dan menjadikanku seorang muslimah yang berbakti kepada perintah Allah ataupun perintah orang tuaku.” Jawab Lina yang masih ragu-ragu dengan keptusannya itu.
“Sudah, yakinkan hatimu saja. Kamu pasti bisa. Semangat Lina!” Kata Sinta yang terus meyakinkan keputusan Lina.
“Aku akan meyakinkan hatiku, Sin. Aku pasti bisa. Bantu aku ya, Sin, supaya aku tetap berjalan lurus, yaitu di jalan Allah.” Lina memohon bantuan kepada Sinta.
……..….
Sinta merupakan anak yang selalu memberi semangat kepada Lina. Di samping itu, Sinta seorang muslimah yang berhati mula. Sinta besahabat dengan Lina sejak mereka SD (Sekolah Dasar), rumah mereka juga satu kompleks, hanya saja cara hidup mereka yang berbeda. Keluarga Sinta sangat mematuhi perintah agama Islam. Dulu, sebelum Lina bertemu dengan Sinta, Lina seorang yang sombong dan angkuh. Dia tidak pernah menyapa orang-orang di sekitar kompleksnya yang tidak lain adalah tetangganya. Lina memang warga baru di kompleks tersebut. Sinta yang selalu sabar .menghadapi orang seperti Lina pun mulai mendekati Lina. Awalnya Lina seakan tidak suka kepada Sinta karena penampilan Sinta yang tidak sebagus Lina. Keluarga Sinta termasuk keluarga yang tidak mampu. Dengan semangat Sinta selalu mengajak Lina pulang bersama menggunakan sepeda mininya yang dibelikan kedua orang tuanya tiga tahun lalu.
Dengan usahanya itu, Sinta berhasil mendapatkan teman baru, yaitu Lina. Sinta sangat senang, begitu juga Lina. Setiap hari minggu, Sinta selalu mengajak Lina ke kajian-kajian yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam yang belum diketahui oleh Lina. Pertama mengikuti kajian, Lina merasa bosan dan ingin segera pulang, tetapi Sinta selalu meyakinkan bahwa dengan mengikuti kajian, manfaat yang didapat oleh orang yang benar-benar mendengarkan dengan niat ikhlas sangat berguna. Karena Sinta diajak pulang tidak mau, akhirnya Lina pulang sendiri. Ketika pulang, dia tidak hafal jalan pulang. Untungnya, Sinta tahu jika Lina orang baru. Sinta mengikuti Lina dari belakang. Setelah itu, Sinta mendekati Lina yang sedang kebingungan. Lina marah kepada Sinta dan tidak mau ditolong oleh Sinta. Dengan kerendahan hati, Sinta meminta maaf kepada Lina.
Sejak kejadian itu, Sinta merasa bersalah. Setiap Sinta bertemu Lina, dia selalu meminta maaf kepada Lina. Tetapi Lina tidak pernah mau memaafkan Sinta. Sinta selalu berdo’a kepada Allah agar Lina dapat memaafkannya. Sampai akhirnya, karena Lina merasa tidak memiliki teman selain Sinta, akhirnya Lina memaafkan Sinta.
Kemudian mereka bersahabat. Mereka berjanji satu sama lain tidak akan saling menyakiti. Sejak saat itu, Lina selalu diberi nasihat oleh orang tua Sinta.
Pada sore hari saat Bulan Ramadhan, Lina pergi ke rumah Sinta. Di sana, Lina bertemu dengan Ibu Sinta. Ibu Sinta terkejut melihat Lina yang sudah remaja dan diwajibkan mengenakan jilbab, belum juga mengenakan jilbab. Ibu Sinta lalu bertanya kepada Lina mengapa dia belum mengenakan jilbab. Tetapi dia hanya tersenyum karena malu.
Kini Lina sudah mengenakan jilbab sehari-hari. Jika pergi dia mengenakan jilbab, sekolah mengenakan jilbab, di rumah pun ia tetap mengenakan jilbab. Ibu pun heran mengapa Lina berubah drastis sejak tiga bulan lalu sejak Lina bersahabat dengan Sinta. Lina juga selalu memohon kepada ibunya agar ibunya mengenakan jilbab seperti dirinya. Setiap hari Lina selalu memohon kepada ibunya.
“Ibu, kenapa ibu belum mengenakan jilbab? Lina ingin ibu mengenakan jilbab seperti Lina. Fungsi jilbab tidak hanya menutupi aurat, Bu, tetapi juga menjaga kesehatan tubuh kita,” ajak Lina.
Ibu hanya duduk terdiam sampai Lina pergi meninggalkannya.
……..….
Cahaya matahari menembus kaca jendela kamar Lina. Silaunya hampir-hampir menyayat pandangan membuat Lina bergegas bangun.
“Astaghfirullohal‘adzim. Jam berapa ini? Kenapa ibu tidak membangunkanku?” gerutu Lina setelah ia menyadari saat itu pukul 09.00.
Lina bergegas turun dari tempat tidurnya lalu mencari handuk untuk segera mandi.
“Sial, kemana handukku,” lina menggerutu lagi.
Lina pun keluar kamar untuk mencari handuknya. Dilihatnya ruang tamu yang kosong. Ibunya tak ada. Handuknya apa lagi. Ia lalu berjalan menuju halaman belakang dan ditemukan juga handuknya tersampir di jemuran. Setelah Lina mengambil handuknya,
“Brukk,”
Lina menabrak seseorang di depannya. Di telitinya orang itu dari ujung kaki sampai ubun-ubunnya.
“Ini kan hari Minggu Lina? Kenapa terburu-buru?”
Lina terkejut dengan apa yang ada di hadapannya saat itu.
“Subhanallah,,, Ibu!” Lina terkagum dengan penampilan ibunya pagi itu.
Gamis merah dengan hiasan bunga di bawahnya dikenakan ibunya. Jilbab merah hati dengan lipatan-lipatan di leher bagian kanan menambah anggun senyum manis ibuku.
“Ibu,,, cantik,,,”
“kau ini, sejak kapan ibu tak cantik Lina?”
Pagi itu adalah pagi yang indah, lebuh indah dari bunga-bunga musim semi yang menggegerkan langkah anak-anak kecil. Lebih indah pula meski musim semi di warnai kembang api malam harinya. Lebih indah dari apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar